Jumat, 03 September 2010

Jenis Imunisasi Wajib


                    Program imunisasi untuk tujuh penyakit itu mulai dikembangkan pemerintah sejak 1977. Tujuan utamanya mencegah kematian balita karena infeksi. Sejak imunisasi dijalankan, berdampak pada menurunnya AKB. Sedangkan imunisasi terhadap penyakit lain seperti Gondongan (Mumps), Campak Jerman (Rubella), Tifus, Radang Selaput Otak (Meningitis) Hib, Hepatitis A, Cacar Air (Chicken Pox, Varicella) dan Rabies tidak diwajibkan, tetapi dianjurkan (Gloria Cyber Ministries, 2001).


Berikut ini penjelasan mengenai beberapa vaksin yang wajib diberikan pada anak:

1). DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus)

a). Difteri

Penyakit Difteri disebabkan oleh Corynebacterium Diphtheriae yaitu bakteri gram-positif yang mengeluarkan toksin (racun) yang bisa menimbulkan gejala lokal maupun umum. Kuman difteri sangat ganas dan mudah menular. Gejalanya adalah demam tinggi dan tampak adanya selaput putih kotor pada tonsil (amandel) yang dengan cepat meluas dan menutupi jalan napas. Selain itu racun yang dihasilkan kuman difteri dapat menyerang otot jantung, ginjal, dan beberapa serabut saraf (Theophilus, 2002; RSPI, 2003).

Penyakit difteri terdapat di seluruh dunia dan masih menjadi endemik di sejumlah negara berkembang termasuk Indonesia, kendati jumlahnya makin berkurang. Bakteri disebarkan melalui batuk, bersin, dan bicara. Jika sudah masuk ke hidung atau mulut, maka bakteri akan diisolasi di selaput lendir saluran nafas atas. Dalam masa inkubasi (2 – 4 hari), bakteri akan mengeluarkan toksin yang menyebabkan nekrosis (kematian sel) pada jaringan sekitar (Gloria Cyber Ministries, 2001).

Masa inkubasi penyakit ini tergolong cepat yaitu antara 1-6 hari. Gejala klinisnya tergantung dari tempat terjadinya infeksi, status imun dan penyebaran toksin. Dilihat secara klinis, difteri bisa terjadi di hidung, tonsil, laring, faring, laringotrakea, konjungtiva, kulit, dan genital.

Infeksi difteri bisa menimbulkan kematian jika sudah komplikasi pada laring dan trakea. Komplikasi biasanya juga merusak jantung, sistem syaraf dan ginjal. Sebelum hal itu terjadi, pasien harus segera mendapatkan obat antitoksin difteri dan antibiotika penisilin dan eritromisin. Selain itu, perlu diberikan pengobatan suportif dengan istirahat total 2-3 minggu.

Pencegahan paling efektif adalah dengan imunisasi bersamaan dengan tetanus dan pertusis sebanyak tiga kali sejak bayi berumur dua bulan dengan selang penyuntikan satu – dua bulan. Imunisasi ini akan memberikan kekebalan aktif terhadap difteri, pertusis dan tetanus secara bersamaan.

Menurut Dyah W. Isbagio (2001a) dari penelitian pada 392 anak di Tulangan Jawa Timur menunjukkan bahwa pemberian dua dosis DPT dengan interval 1 – 3 bulan pada anak usia 3 – 14 bulan dapat membuat kekebalan lebih dari 80 % anak.

Menurut Tsu V. & Tyschenko D.K. (2000) di Ukraina tahun 1996 menunjukkan bahwa pada anak yang tidak diimunisasi sebanyak 5 kali lebih banyak terkena infeksi daripada anak yang diimunisai (95 % CI: 2,8 – 9,0) dengan efisiensi sekitar 80 %. Dua dosis dapat mencegah risiko terserang penyakit infeksi tersebut. Sedangkan menurut Bisgard, et al (2000) pada efektifitas vaksin di Federasi Rusia pada tahun 1990 menunjukkan bahwa pemberian vaksin dipteri dosis 3 atau lebih dapat efektif sampai 97 % (95% CI: 94,3 – 98,4).

b). Pertusis

Pertusis adalah radang pernafasan (paru) disebut juga batuk rejan atau batuk 100 hari karena lamanya sakit bisa mencapai 3 bulan lebih atau 100 hari. Gejala penyakit ini sangat khas, batuk yang bertahap, panjang dan lama, disertai bunyi dan diakhiri dengan muntah. Penyakit ini cukup berbahaya bila menyerang anak balita, karena mata dapat bengkak dan berdarah atau bahkan dapat menyebabkan kematian karena kesulitan bernafas(RSUD. DR. Saiful Anwar, 2002).

Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Bordetella Pertussis, tetapi di beberapa daerah kadang-kadang juga oleh Bordetella Parapertusis (Gloria Cyber Ministries, 2001).

Penyakit ini sangat menular (melalui kontak langsung) pada populasi yang tidak diimunisasi, bahkan dikatakan penularannya mencapai 100%. Risiko tertinggi menyerang pada bayi usia enam bulan ke bawah. Masa inkubasi penyakit ini antara 6-20 hari. Gejala umumnya dibagi dalam tiga fase yaitu (1) fase kataral (gejala infeksi saluran nafas), (2) fase serangan (batuk berat disertai nafas berbunyi) serta (3) fase penyembuhan (batuk berkurang dan nafas membaik). Jika sudah parah, penyakit ini menimbulkan komplikasi radang paru (pneumonia) yang menjadi penyebab sekitar 90% kematian anak usia di bawah tiga tahun.

Selain pneumonia, komplikasi juga menimbulkan kejang dan turunnya kesadaran akibat berkurangnya oksigen yang masuk ke otak. Dapat juga timbul komplikasi akibat batuk yang hebat, seperti: epistaksis, pendarahan sub konjungtiva, ulserasi frenulum. Mungkin terjadi prolapsus recti dan hernia karena meningginya tekanan intraabdominal. Muntah-muntah yang hebat menimbulkan emasiasi (kurus) dan gangguan keseimbangan elektrolit, enfisema dan bronkiektas.

Untuk mencegah timbulnya penyakit, anak perlu mendapat vaksinasi pertusis. Vaksin ini dikembangkan sejak 60 tahun lalu dan mulai dipakai efektif di dunia tahun 1960-an bersama dengan vaksin tetanus dan difteri. Ketiga vaksin itu akhirnya disatukan menjadi vaksin DPT.

c). Tetanus

Penyakit ini disebabkan oleh baksil Costridium Tetani yaitu bakteri gram-positif dan bersifat anaerob (bisa berbiak di dalam lingkungan tanpa oksigen). Bakteri ini bisa membentuk spora di dalam tanah, kotoran manusia dan binatang. Bila tidak terkena sinar matahari, spora bisa tahan sampai bertahun-tahun.

Penyakit tetanus sebenarnya sudah dikenal sejak zaman Hippocrates, sedangkan bakteri penyebabnya baru dapat diisolasi pada tahun 1889 oleh Kitasato. Bakteri tetanus lebih banyak ditemukan di dalam tanah olahan sehingga penduduk pedesaan lebih banyak menjadi carrier dalam usus, kulit dan mulut. Bakteri clostridium titani mengeluarkan toksin tetanospasmin. Jika racun ini masuk ke dalam tubuh melalui luka di bagian tubuh, maka akan berubah menjadi aktif dalam keadaan tanpa oksigen. Racun tetanospasmin kemudian menyebar dari luka melalui ujung syaraf dan menimbulkan kontraksi otot di sekitar daerah luka. Setelah itu, racun akan menjalar ke seluruh syaraf dan akhirnya mencapai sunsum tulang belakang. Jika ini terjadi, maka akan menimbulkan kontraksi pada semua otot polos.

Masa inkubasi penyakit ini antara 3-21 hari. Makin jauh jarak luka (tempat masuknya spora) dengan pusat syaraf, maka makin lama masa inkubasinya. Anak yang terserang tetanus akan sering mengalami trismus (mulut terkunci) dan wajahnya berubah mengerikan (risus sadonicus). Gejala lainnya adalah panas, iritabel, gelisah, bulu kuduk kaku, sulit menelan, otot perut, punggung dan dada kaku.

Pengobatan tetanus dilakukan dengan jalan menetralisasi toksin, membersihkan luka, memberikan antibiotika penisilin atau tetrasiklin dan memperkuat nutrisi, cairan serta kalori. Sebagai pencegahan, anak perlu mendapat imunisasi aktif dan pasif. Imunisasi aktif merupakan vaksinasi dasar dalam bentuk toksoid yang diberikan bersama vaksin pertusis dan difteri. Sedangkan imunisasi pasif diberikan dalam bentuk serum antitetanus (ATS profilaksis) pada penderita luka yang berisiko terinfeksi tetanus.

Di Indonesia vaksin terhadap Difteri, Pertusis, dan Tetanus terdapat dalam 3 jenis kemasan, yaitu: kemasan tunggal khusus untuk tetanus, bentuk kombinasi DT, dan kombinasi DPT. Imunisasi dasar DPT diberikan 3 kali, sejak bayi berumur 2 bulan dengan selang waktu penyuntikan minimal selama 4 minggu sampai 5 minggu (DPT1, DPT2, dan DPT3). Suntikan pertama tidak memberikan perlindungan apa-apa, sebabnya suntikan ini harus diberikan sebanyak 3 kali. Imunisasi ulang pertama dilakukan pada usia 1 – 2 tahun atau kurang lebih 1 tahun setelah suntikan imunisasi dasar ke-3. Imunisasi ulang berikutnya dilakukan pada usia 6 tahun atau kelas 1 SD. Pada saat kelas 6 SD diberikan lagi imunisasi ulang dengan vaksin DT (tanpa P) (Theophilus, 2000).

Menurut penelitian Dyah W. Isbagio (2001b) pada penelitian yang melibatkan 375 anak SD di Kabupaten Bogor menunjukkan bahwa dengan adanya program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) pada anak SD dapat bermanfaat dalam meningkatkan kekebalan terhadap tetanus.


2). Poliomyelitis

Penyakit Polio (Poliomyelitis Anterior Akuta) disebabkan oleh infeksi virus polio. Gejalanya bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai adanya kelumpuhan yang bersifat lemas tanpa mengganggu saraf perasa. Biasanya pada tungkai bawah dan bersifat menetap selamanya. Penyakit ini hanya menyerang manusia. Virus polio berkembang biak di dalam usus manusia (anak-anak) dan berada di dalam usus paling lama dua bulan, sehingga tidak ada penderita kronis atau penderita yang menjadi carier (pembawa) polio. Virus dari usus manusia akan dikeluarkan melalui tinja kemudian berada di luar tubuh atau di alam bebas hanya bertahan selama 48 jam pada puncak musim kemarau dan bisa 2 minggu pada musim hujan. Penularan terjadi secara fecal oral atau dari tinja ke mulut (Syahrul Muhammad, 2002).

Jumlah kasus Polio di Indonesia dalam 5 tahun terakhir telah berhasil di turunkan sebesar 97% yaitu dari 773 kasus tahun 1988 menjadi 23 kasus yang dilaporkan tahun 1993. Penyakit polio perlu dicegah, karena dapat menimbulkan dampak yang menyebabkan kecacatan menetap, sehingga dapat mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia. Selain itu penyakit polio pada hakekatnya merupakan penyakit kedua yang dapat diberantas (eradikasi) setelah penyakit cacar. Hal ini karena penyakit tersebut hanya menyerang manusia terutama anak-anak), tidak ada binatang pengidap polio dan juga tidak ada pengidap kronis.

Terdapat 2 jenis vaksin Polio yang beredar, dan di Indonesia yang umum diberikan adalah vaksin Sabin (kuman yang dilemahkan) dan cara pemberiannya melalui mulut. Di beberapa negara dikenal pula Tetravaccine, yaitu kombinasi DPT dan Polio. Imunisasi dasar Polio diberikan sejak anak berumur dua bulan sebanyak empat (4) kali (Polio1, Polio2, Polio3, Polio4) dengan selang empat minggu sampai satu bulan dengan cara tetesan pada mulut (2 tetes). Pemberian vaksin polio dapat dilakukan bersamaan dengan BCG, vaksin Hepatitis B, dan DPT. Imunisasi ulangan diberikan bersamaan dengan imunisasi ulang DPT. Pada imunisasi dasar pemberian imunisasi Polio4 menunjukkan tingkat efektivitas imunisasi (Anonim, 2003).

Penyakit Polio tidak ada obatnya. Penyakit ini hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Vaksin Polio yang diberikan kepada anak balita beberapa kali akan melindungi anak-anak dari serangan virus Polio (Minkovitz, et al, 1999).

Hasil penelitian Gendro Wahyuhono (2001) pada 604 anak di Metro Kabupaten Lampung menunjukkan bahwa imunisasi polio efektif setelah anak mendapatkan imunisasi 3 kali dosis, di mana persentase anak yang mempunyai antibodi tripel positif meningkat setelah anak mendapat imunisasi 3 kali dosis yaitu, 96,6 %.


3). Campak (Measles)

Penyakit ini mudah menular. Gejala yang khas adalah timbulnya bercak-bercak merah di kulit setelah 3-5 hari anak menderita demam, batuk, atau pilek. Bercak merah ini mula-mula timbul di pipi yang menjalar ke muka, tubuh, dan anggota badan. Bercak merah akan menjadi coklat kehitaman dan menghilang dalam waktu 7-10 hari. Pada anak yang kurang gizi, penyakit ini diikuti oleh komplikasi yang berat seperti radang otak (encephalitis), radang paru, atau radang saluran kencing. Bayi baru lahir biasanya telah mendapat kekebalan pasif dari ibunya ketika dalam kandungan dan kekebalan ini bertahan hingga usia bayi mencapai 6 bulan. Imunisasi Campak diberikan kepada anak usia 9 bulan. Biasanya tidak terdapat reaksi akibat imunisasi. Namun adakalanya terjadi demam ringan atau sedikit bercak merah pada pipi di bawah telinga, atau pembengkakan pada tempat suntikan (Theophilus, 2000).

Kasus campak di Indonesia masih cukup tinggi dan hampir di semua daerah terdapat Kejadian Luar Biasa (Syahrial Harun, 2001). Hasil kesepakatan pertemuan World Health Assembly (WHA) dan the World Summit for Children bertujuan menanggulangi campak secara bertahap dengan cara mengurangi angka kesakitan sebesar 90 % dan angka kematian sebesar 95 % dari angka kesakitan dan kematian sebelum pelaksanaan program imunisasi campak (Salma Padri, 2001a: 21 – 23).

Dengan adanya program BIAS dapat bermanfaat meningkatkan kekebalan anak sekolah terhadap penyakit campak, di mana dari penelitian Bambang Heriyanto (2001a) yang melibatkan 300 anak kelas I – V SD di Kuningan Jawa Barat dan 300 anak DKI Jakarta menunjukkan bahwa pemberian BIAS dapat memberikan kekebalan terhadap infeksi campak sebesar 97,50 % (DKI Jakarta) dan 98,53% (Kuningan).


4). BCG

Penyakit Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan kuman Micobacterium Tuberculosis yang mempunyai sifat tahan terhadap asam pada pewarnaan sehingga disebut Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di temapat gelap dan lembab (RSPI, 2003). Menurut SKRT 1995 Tuberkulosis (TB) di Indonesia menduduki urutan ketiga sebagai penyebab kematian setelah jantung dan saluran pernafasan (Bambang Supriatno, dkk, 2002).

Penularan penyakit TBC terhadap seorang anak dapat terjadi karena terhirupnya percikan udara yang mengandung kuman TBC. Kuman ini dapat menyerang berbagai organ tubuh, seperti paru-paru (paling sering terjadi), kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati, atau selaput otak (yang terberat) (Theophilus, 2000).

Secara kasar, setiap 100.000 penduduk Indonesia diperkirakan terdapat 130 penderita baru dengan BTA positip. Sampai saat ini belum satu negarapun dinyatakan bebas dari TBC. Indonesia belum pernah terjadi penurunan penyakit TBC akan tetapi justru mempunyai kecenderungan meningkat, bahkan dinyatakan Indonesia merupakan negara penyumbang kasus penderita TBC terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India (Suradi, 2001).

Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan pada bayi yang baru lahir sampai usia 12 bulan, tetapi imunisasi ini sebaiknya dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan. Imunisasi ini cukup diberikan satu kali saja. Bila pemberian imunisasi ini “berhasil,” maka setelah beberapa minggu di tempat suntikan akan timbul benjolan kecil. Karena luka suntikan meninggalkan bekas, maka pada bayi perempuan, suntikan sebaiknya dilakukan di paha kanan atas. Biasanya setelah suntikan BCG diberikan, bayi tidak menderita demam (Theophilus, 2000).

asil penelitian Ainur Rofiq, (2001) menunjukkan bahwa pada anak yang telah diimunisasi BCG dapat menurunkan risiko Meningitis TB sebanyak 0,72 kali dibanding yang belum diimunisasi BCG.


5). Hepatitis B

Infeksi Hepatitis B merupakan masalah kesehatan terutama di negara berkembang dan padat penduduk. Untuk mencegah infeksi maka imunisasi Hepatitis B harus diberikan sedini mungkin. Imunisasi Hepatitis B mulai diintegrasikan ke dalam PIN sejak tahun 1997, dan hasil cakupan imunisasi tahun 1998/1999 untuk HB1, HB2 dan HB3 masing-masing 78,8 %; 63,7 % dan 971,7 % (Julitasari, 2001; Muljati Prijanto, 2001a).

Cara penularan hepatitis B dapat terjadi melalui mulut, transfusi darah, dan jarum suntik. Pada bayi, hepatitis B dapat tertular dari ibu melalui plasenta semasa bayi dalam kandungan atau pada saat kelahiran. Virus ini menyerang hati dan dapat menjadi kronik (menahun) yang mungkin berkembang menjadi cirrhosis (pengerasan) hati dan kanker hati di kemudian hari (Murtagh J., 1998: 540; Theophilus, 2000).

Cara pencegahan penyakit ini adalah dengan imunisasi dasar hepatitis B yang diberikan 3 kali dengan tenggang waktu 1 bulan antara suntikan pertama dan kedua, dan tenggang waktu 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga. Imunisasi ulang diberikan 5 tahun setelah pemberian imunisasi dasar (Theophilus,2000).

Penelitian Idi Sampana, Sutaryo, dan Suharyanto S. (2000) pada dua kelompok bayi masing-masing 60 bayi berusia 0 – 7 hari sebagai ujicoba dan 51 bayi usia 3 bulan pada kelompok kontrol di Kabupaten Sungai Tengah Propinsi Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa immun respon pada bayi yang telah mendapat imunisasi dosis pertama umur 0 – 7 hari lebih baik (100 %) dibanding yang mendapat imunisasi dosis pertama usia 1 bulan (90,20 %). Bayi yang mendapat imunisasi umur 1 bulan mempunyai seroproteksi 0,9 (lebih kecil) dibanding yang mendapat imunisasi umur 0 – 7 hari.

Berbeda dengan penelitian tersebut, hasil penelitian Bambang Heriyanto (2001b) pada anak-anak di kabupaten Jember dan Bondowoso maupun di Ujung Pandang, Pontianak dan Jawa Tengah menunjukkan bahwa imunisasi dengan pemberian vaksin pertama pada umur kurang dari 3 bulan dan pada umur 3 bulan tidak berbeda yaitu menghasilkan tanggap kebal sebesar 80 %. Dengan demikian imunisasi Hepatitis B yang dimulai umur 3 bulan belum terlambat, karena sebagian besar anak-anak pada umur tersebut masih terinfeksi virus secara alam. Sedangkan penelitian Andrew J., et al (2003) pada 2 kelompok mahasiswa kedokteran di Semarang yang telah dinyatakan HbsAg dan anti HbsAg negatif, menunjukkan bahwa apabila suntikan kedua dikurangi setengah dosis suntikan pertama kadar antibodi yang terbentuk sama atau tidak berkurang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar